Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para ilmuwan di Los Alamos National Laboratory dari Amerika Serikat (AS) mengungkap jenis mutasi virus Corona COVID-19 yang mendominasi di seluruh dunia. Selain diyakini lebih cepat menyebar, jenis mutasi ini pun disebut sebagai penyebab seseorang rentan terinfeksi Corona kembali usai dinyatakan sembuh.
Melansir Los Angeles Times, para ilmuwan tersebut mengatakan jenis atau strain Corona ini muncul pada Februari di Eropa, lalu bermigrasi dengan cepat ke Pantai Timur Amerika Serikat. Laporan ini sudah diposting pada Kamis lalu di BioRxiv, sebuah situs web yang digunakan para peneliti untuk membagikan hasil kerja mereka sebelum ditinjau oleh rekan kerja, suatu upaya untuk mempercepat kolaborasi dengan para ilmuwan yang mengerjakan vaksin atau perawatan COVID-19.
Sebagian besar, penelitian itu didasarkan pada urutan genetik dari strain sebelumnya. Disebutkan, di mana pun strain ini muncul, virus itu dengan cepat menginfeksi lebih banyak orang daripada strain sebelumnya yang berasal dari Wuhan, China.
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, dominasi strain baru dibanding pendahulunya menunjukkan bahwa strain ini lebih cepat menular. Hingga kini virus Corona sudah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 250 ribu kasus dilaporkan meninggal dunia.
Laporan ini berdasarkan analisis komputasi pada lebih dari 6 ribu urutan virus Corona dari seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), sebuah organisasi publik swasta di Jerman. Berkali-kali, analisis menemukan bahwa strain ini sedang menyebar menjadi dominan.
Sementara itu, tim Los Alamos dibantu oleh para ilmuwan di Universitas Duke dan Universitas Sheffield di Inggris, mengidentifikasi 14 mutasi. Mutasi-mutasi itu terjadi di antara hampir 30 ribu pasangan basa RNA yang menurut ilmuwan lain merupakan genom dari virus Corona. Penulis laporan berfokus pada mutasi yang disebut D614G, yang disebut membuat adanya lonjakan virus Corona di beberapa negara.
"Ceritanya mengkhawatirkan, karena kita melihat bentuk virus yang bermutasi muncul dengan sangat cepat, dan selama bulan Maret menjadi bentuk pandemi yang dominan," kata pemimpin studi Bette Korber, ahli biologi komputasi di Los Alamos, menulis di halaman Facebook-nya.
"Ketika virus dengan mutasi ini memasuki suatu populasi, mereka dengan cepat mulai mengambil alih epidemi lokal, sehingga mereka lebih mudah menular," lanjut Korber.
Studi Los Alamos tidak menunjukkan bahwa versi baru virus lebih mematikan daripada yang asli. Namun orang yang terinfeksi dengan strain yang bermutasi tampaknya memiliki viral load (jumlah virus) yang lebih tinggi. Tetapi penulis penelitian dari University of Sheffield menemukan bahwa di antara sampel lokal 447 pasien, masa rawat inap ditemukan hampir sama antara keduanya.
Studi tersebut mengatakan meski strain baru tidak lebih berbahaya daripada yang lain, hal ini masih mempersulit upaya untuk mengendalikan pandemi Corona. Karena masalahnya orang yang sebelumnya terinfeksi tidak akan memiliki kekebalan terhadap jenis mutasi Corona baru.
"Jika memang demikian, itu dapat membuat individu rentan terhadap infeksi kedua," kata penulis penelitian.
"Ada kemungkinan bahwa mutasi mengubah lonjakan dalam beberapa cara yang membantu virus menghindari sistem kekebalan tubuh," kata Montefiori, yang telah bekerja pada vaksin HIV selama 30 tahun.